Ayat Hari Ini...

Jumat, 31 Desember 2010

Selamat Menghadapi Ujian!!!


Sastra : Jika Aku Nanti Benar-Benar Pergi

Oleh : Rijal L Fikri


Jika aku nanti benar-benar pergi, biarlah  air matamu mengaliri riak-riak air, aku berdo’a semoga  sampai pada sungai Nil, tempat dimana aku menantimu dan membasuh rinduku yang membuncah, sebab disanalah aku senantiasa berbisik pada musim yang renta, memunguti sisa-sisa pertemuan kita yang tersembunyi dan lucu, menghadirkan tubuhmu di hatiku lewat lembar-lembar mushaf yang kubaca untukmu. Dan pada anginlah kutitipkan keutuhan cinta kita, menebar harum dan beri’tikaf pada semesta.

Jika nanti aku benar-benar pergi, biarkan bibirmu membisikkan cinta dan membahasakan doa, kan kuabadikan di langit yang berbeda, kutabuh jadi irama padang pasir pengiring zikirku di renyuh malam, di suatu tempat orkestra sunyi, opera suci dan syair-syair sufi disenandungkan. Tapi tanpamu sayang, Mesir bagiku adalah kemarau. Separuh jiwaku tertinggal pada keindahan wujudmu.

Jika nanti aku benar-benar pergi,  simpanlah sajak yang pernah kutulis, biarkan ia berbicara pada malammu yang gelisah, biarkan ia memandangmu di kamar tidurmu yang sunyi, biarkan ia membelai rambutmu hingga kau pulas dengan mimpi-mimpi yang indah, biarkan ia mengenang saat kau janjikan aku dan aku janjikan engkau.

Sayang, jangan kau tanyakan lagi tentang arti kesetiaan, biarkan ia mengalir, menyelipkan senja di jalan darah, nadi dan aorta sampai tuhan menyuratiku untuk pulang memilikimu seluruh.
Prenduan, 28 januari 2009

Cerpen : Catatan Eskrim

Oleh: Nurlaily Farades


Ndut, aku sayang kamu!” ucapnya.
Gemercik air hujan masih terdengar, dingin semakin menusuk tulangku. Apalagi setelah kudengar kata-kata itu. Kebisuan menderaku seketika.
Ndut, kenapa diem?” tanyanya.
Hahahahahaha”, terdengar gelak tawanya.
Pasti sekarang mukamu udah kayak udang rebus! haha. Ndut, aku gak maksa kamu buat ngomentarin kata-kataku, Ya udah met bobok ya ndut!” katanya lagi.
Oh, Ya! Sama-sama!” jawabku singkat.
Tut...tut...tut..., pembicaran malam ini berakhir seperti biasa dengan pesan andalannya untuk cuci kaki, gosok gigi, berdoa dan sebut namanya tiga kali sebelum tidur.
*****
“Ndut!”, sapa Rio.
“Eh, ya!, jawabku.
Rio tertawa, rasa malu lagi-lagi menghampiriku. Kejadian semalam masih segar di ingatan, namun tak kulihat ada perubahan pada senyumnya, atau pada sorot mata cerianya. Dia tetap seperti biasa, tenang seolah tanpa beban.
Sebenarnya orang tuaku memberiku nama Lala Maulida. tapi gara-gara Rio semua teman-temanku memanggilku “Ndut. Awalnya aku tidak terima mendapat panggilan seperti itu, tapi lama-lama aku bosan menolak. Semakin aku bereaksi, semakin semangat orang memanggilku dengan panggilan itu, lagipula dia adalah patner kerjaku sekaligus sahabatku. Kami begitu dekat. Tak heran teman-teman menjuluki kami sepasang sahabat kocak, kali ini aku tak perlu menolak.
Aku pertama kali bertemu dengan cowok usil ini di ruang OSIS, hari itu nama kami dikumpulkan dalam satu departemen. Awalnya kupikir ia adalah cowok yang sulit untuk diajak bekerjasama. Namun ternyata dugaanku salah, Rio itu kocak, bersahabat, dan tetap tenang dalam situasi apapun.
“Ndut!”,  teriak Rio di telingaku.
Seketika juga aku tersadar dari lamunan panjangku.
Oh ya, Gimana persiapan acara 17 Agustusan nanti?”, tanyaku.
Tugasku memang hanya mengontrol kerja anggotaku. Namun semuanya tetap menjadi tanggung jawabku dan akulah yang akan kena semprot ketua OSIS kalau ada hal yang berjalan tidak sesuai dengan perencanaan.
“Beres, bos!. Susunan panitia udah dibikin, acaranya juga udah ditentuin. Cuma kita masih punya kendala, masalah.....”
“Masalah dana lagi?”, potongku.
“Ya begitulah!”, jawabnya simpel.
Huh, dana memang selalu menjadi kendala di setiap kegiatan kami. Malangnya, dapat dipastikan aku dan Rio yang harus memutar otak buat menambal semua kekurangan karena memang dia adalah wakilku. Aku berusaha memutar otak, Rio malah tertawa kecil di hadapanku.
“Kok malah senyum-senyum?. Ikut mikir dong!”, kataku diiringi dengan kerutan di dahiku.
“Udah, gak usah pusing. Bukannya kita sudah sering terjebak dalam masalah kayak gini?, jawabnya berusaha menenangkanku.
“Ya sih, tapi ini beda, kali ini kita akan mengadakan perlombaan antar sekolah se-Kabupaten, ini bukan acara kecil, Rio!”, timpalku. Rio kembali tersenyum melihat emosiku. Dia memang selalu tenang dalam kondisi sesulit apapun. Kami bersekolah di SMA Negri 17 Palembang, kota yang hampir menyerupai ibu kota negara, tak pernah sepi walau gelap telah menjelma. Rio bukanlah orang asli Palembang, dia berasal dari sebuah kota kecil di daerah Jawa Timur. Di sini, ia tinggal di rumah pamannya, hanya dua kilo dari rumahku. Keaktifan di OSIS lah yang menjadikan kami akrab dan saling mengerti satu sama lain.
Keuangan biar aku yang atur, kamu gak usah bingung!, Ujarnya.
Dia menarik tanganku mendekati motornya. “Pulang yuk! Udah jam dua, ntar dicariin sama mama!. Aku  hanya mengangguk dan cemberut sampai kami berada di depan rumahku.
*****
Hiduplah Indonesia raya.., kuturunkan tanganku setelah aba-aba dari sang pemimpin upacara. Kini Indonesia telah genap berumur 63 tahun setelah kemerdekaannya. Namun kenapa Indonesia semakin tak terarah? Majulah Negaraku! doaku dalam hati.
Perlombaan dimulai, sekolah kami dipadati oleh peserta dan pendukung dari masing-masing sekolah. Para suporter bersorak mendukung jagoannya, diiringi gelak canda yang terdengar dimana-mana. Semua perlombaan berjalan sesuai dengan rencana, teman-teman panitiapun terlihat menikmati pekerjaan mereka masing-masing. Para peserta antusias mengikuti setiap perlombaan yang diadakan. Benar-benar hari yang melelahkan sekaligus menyenangkan.
Kulihat jam yang melingkar di tanganku. Sudah jam lima sore, acara telah selesai dengan baik dan hampir sempurna. Aku puas dengan hasil kerja teman-teman sesama panitia. Kuucapkan terima kasih pada setiap panitia sebelum mereka pulang. Dan ingatanku tertuju pada Rio. Dimana dia? Sepanjang hari kami sibuk mengontrol acara. Tak lama kulihat Rio melambaikan tangan ke arahku sambil tersenyum. Aku pun membalas senyumannya.
“Mau langsung pulang?”, tanyanya.
“Ya! Mau ke mana lagi?, jawabku sambil membereskan barang-barang yang masih berserakan. Ternyata di sekolah ini hanya tersisa kami berdua, teman-temanku sudah pulang ke rumah masing-masing.
“Jalan dulu yuk, ndut!”, Ajakannya mengagetkanku.
Kemana?”
Ke BKB. Hitung-hitung buat refresing. Kan dah seminggu ini kita capek mempersiapkan acara ini.” Jawabnya sambil duduk di atas  motor.
Boleh, tapi izin dulu sama mama.” Jawabku.
Tampak sesaat kulihat Rio menelpon seseorang. Dan kutahu pasti itu mama.
Ayo ndut!” ajaknya.
Bilang apa ke mama?”, aku bertanya sambil berjalan mendekatinya.
“Cuci otak sambil makan es krim!
Kami segera tancap gas menuju Benteng Kuta Besar, salah satu objek wisata yang biasa dikunjungi anak muda, terletak di pinggir sungai Musi.  Sesampai di sana adzan berkumandang. Kamipun sholat di mushalla yang sudah tersedia. Untungnya kami tidak memakai seragam sekolah, jadi orang-orang tidak terlalu memperhatikan kami. Malam ini kami duduk makan es krim coklat sambil memandangi indahnya sungai Musi di malam hari. Kami bercerita dan bercanda. Senyum dan tawa mengiringi obrolan di tepi sungai itu. Sesekali kulihat raut wajahnya, wajah yang lelah namun tetap tersenyum cerah.
La, aku mau jawaban yang kemarin”, katanya tiba-tiba.
Seketika aku meletakkan es krimku. Aku paham, Rio memanggil nama asliku. Dia sedang serius.
“Lala, apa harus kuulang pertanyaanku?”, desaknya.
Lho, kan Kamu sendiri yang bilang tidak maksa aku buat jawab?” Jawabku sambil tersenyum.
Ya, awalnya aku berfikir seperti itu, namun tenyata semuanya menyiksaku. Aku berusaha untuk melupakannya, tapi ternyata” katanya dengan kepala tertunduk.
“Rio, kita telah lama berteman, tiga tahun bukan waktu yang sebentar untuk saling mengetahui dan memahami kepribadian masing-masing. Aku senang bisa jadi sahabatmu. Kamu patner kerja yang baik, sahabat yang selalu kubanggakan.”
Kamipun terdiam beberapa saat, menyelami fikiran kami masing-masing.
“Rio!, kamu sayang aku kan?”, kataku sambil memandangi riak-riak kecil sungai yang terbentang di hadapan kami, hanya anggukan kecil yang kudapat dari cowok jangkung ini.
Rio, apakah sayang itu harus selalu berujung dengan pacaran?, aku memburunya dengan pertanyaan ini.
Apakah semua itu harus diekspresikan sebelum waktunya?
Rio masih diam seribu bahasa, matanya menyisir riak sungai tanpa memandangku.
Rio, cinta itu suci, dan hidup harus didasari dengan cinta agar semuanya menjadi berwarna. Cinta diiringi dengan sayang, dan bukan berarti cinta antara lain jenis mengharuskan mereka terikat dalam kata pacaran. Mereka bisa menjadi sahabat yang saling melengkapi. Sahabat akan lebih abadi dibanding pacaran. Pacaran di usia kita itu hanya main-main. Nanti akan ada saatnya di mana kita harus mengekpresikan rasa sayang kita.
Dan aku juga sayang kamu Rio sebagai sahabatku. Itulah jawabanku dan aku tahu kamu pasti mengerti”
Kepalanya terangkat,  “Lala, terimakasih sudah menjawab. Aku akan menunggu saat itu.”, Ucapnya sambil tersenyum dan memandangku lekat, aku ikut membalas senyumnya.
Senyum kami bersatu di keindahan sungai Musi malam hari ini.