Ayat Hari Ini...

Rabu, 23 Februari 2011

Makalah: Berjabat tangan setelah shalat, apa hukumnya?


وعن البرّاء رضي الله عنه قال:قال رسول الله صلى عليه وسلم:ما من مسلمين يلتقيان فَيَتَصَافَحَانِ الاّ غفر لهماقبل ان يفترقا- رواه أبو داود

"Dari Sahabat Bara' R.A. Ia berkata "Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam bersabda,"tiada dua orang muslim  yang bertemu kemudian berjabat tangan melainkan dosanya di ampuni sebelum mereka berpisah".(HR.Abu Dawud).
    
          Hadist diatas adalah yang menjadi tendensi kesunahan mushaafahah (bersalaman) ketika sesama muslim bertemu. Entah itu di jalan, di pasar, di masjid ataupun di tempat lainya. Baik itu setelah solat berjamaah ataupun sebelumnya, dengan catatan diantara orang yang berjabat tangan tersebut belum berkumpul atau bertemu sebelumya, karena demikianlah yang secara eksplisit tertera dalam hadis diatas, tepatnya pada kalimat yang berbunyi " يلتتقيان   (yang bertemu)", dan tentunya, yang namanya bertemu itu adalah setelah berpisah. Dengan demikian, dua orang yang telah bertemu kemudian berkumpul tidak di sunahkan  mushaafahah, karena tidak bisa di katakan bertemu, sehingga tidak termasuk dalam otoritas hadits diatas. Intinya, berdasar hadits diatas, mushaafahah yang di sunahkan, adalah mushaafahah  diantara dua orang yang  bertemu, bukan yang berkumpul. Lalu bagaimana dengan tradisi yang berkembang di masyarakat, yaitu berjabat tangan yang senantiasa mereka laksanakan secara rutin setelah solat berjamaah?. Itulah sebenarnya pokok permasasalah yang hendak kita perbincangkan di sini. Merespon problematika tersebut,  setidaknya ada dua kelompok yang pro dan yang kontra.

 1. Menurut Kelompok Pertama

           Namun sebelum melangkah lebih jauh, terlebih dahulu  penulis jelaskan, bahwa perbedaan pendapat antara kedua kelompok yang pro dan yang kontra dengan praktik mushaafahah setelah solat tersebut, berpangkal pada, ada dan tidak adanya pengklasifikasian terhadap bid'ah. Karena mushaafahah yang rutin di kerjakan setelah  solat berjamaah adalah  termasuk perbuatan bid'ah, karena belum pernah di kerjakan pada masa Rasul shollahu 'alaihi wasallam. Karena rutinitas tersebut termasuk berbuatan bid'ah, sehingga wajar dan logis jika menyebabkan munculnya pro dan kontra diantara kedua kelompok tersebut, yang memang secara prinsipil telah berbeda pendapat dalam klasifikasi bid'ah itu sendiri. Kelompok pertama disini mewakili mayoritas Ulamaa' Ahli Sunnah Wal jama'ah yang mengklasifikasikan bid'ah menjadi dua bagian, yaitu, bid'ah yang tercela dan bid'ah yang terpuji, yang pada berikutnya akan berimplikasi terhadap penetapan status hukum berjabat tangan setelah solat tersebut. Apakah sunnah, mubah atau bahkan haram?. Sedang kelompok kedua, mewakili kalangan Wahabiyah yang berpandangan, bahwa semua bid'ah adalah tercela dan sesat, sehingga mushaafahah setelah solat mutlak dihukumi haram.

           Mengacu pada kelompok pertama, untuk memastikan apakah rutinitas setelah solat tersebut termasuk  bid'ah yang terpuji sehingga dianjurkan, ataukah tercela sehingga terlarang, tentunya memerlukan analisis yang kritis, obyektif dan penuh kehati-hatian. Setidaknya ada beberapa pendapat mayoritas Ulamaa' kelompok pertama. Sebagian berpandangan, bahwa hal tersebut temasuk dalam katagori bid'ah yang boleh di kerjakan   (bid'ah mubaahah), sehingga, di lakukan ataupun tidak di lakukan sama-sama tidak menjadi masalah yang signifikan. yang hendak bersalaman di persilahkan yang tidak juga tidak jadi masalah. Sebagaimana yang telah di jelaskan oleh Syaikh al-Imam Abu Muhammad bin 'Abdis salaam rahimahullah . Terlepas dari itu, menurut hemat penulis, pendapat tersebut belum menyentuh ranah dimana ketika mushaafahah setelah solat tersebut sudah mengakar kuat dan menjadi tradisi yang rutin di kerjakan para jamaah solat, yang tentunya terdiri dari berbagai macam elemen masyarakat yang berbeda-beda kapasitas intelektual religiusnya. Sehingga, diantara mereka ada yang melakukanya demi menghindari fitnah semata, semisal agar tidak dianggap sombong dan lain sebagainya. Bahkan ada pula yang memang berkeyakinan, bahwa hal tersebut di sunahkan dan terdapat justufikasi secara langsung adri Ad-Qur-an dan As-Sunnah, baik af'aliyah  maupun aqwaliyah.

         Sebagian yang lain berpendapat, bahwa mushaafahah setelah solat memiliki beberapa pemilahan hukum. Kejelasan dari kedua pendapat tersebut telah di lansir dalam "Majmu' Syarhul Muhadhab" karya asy-Syaikh Muhyiddin An-Nawawiy yang artinya; "adapun berjabat tangan yang di lakukan setelah Sholat Subuh dan Asyar, maka telah di jelaskan oleh asy-Syaikh al-Imam Abu Muhammad bin 'Abdis salaam rahimahullah, bahwa hal tersebut merupakan Bid'ah yang di perbolehkan untuk di lakukan (bid'ah mubaahah)... akan tetapi menurut kaul mukhtar (pendapat yang di pilih)  ada klasifikasi hukum, yaitu apabila antara orang yang berjabat tangan seusai salat sebelumnya sudah ada pertemuan terlebih dahulu (atau berkumpul) maka berjabat tangan setelah salat berjamaah di hukumi bid'ah mubaahah (bid'ah yang boleh di kerjakan) sebagaimana yang telah di jelaskan. dan apabila sebelunya belum ada pertemuan maka hukumnya Sunnah untuk di lakukan". (Majmu' Syarhul  Muhadzdzab3:470).

2. Menurut Kelompok  Kedua

            Kita pertegas kembali, bahwa  pada prinsipnya, Ulamaa' sepakat di sunahkanya mushaafahah ketika sesama muslim bertemu, bukan berkumpul. dan perbedaan pendapat diatas hanya dalam lingkup mushaafahah setelah melaksanakan salat saja, yang selama ini rutin di laksanakan sebagaian umat Islam di indonesia. Mereka, baik yang pro maupun yang kontra terhadap kaabsahan praktik mushaafahah tersebut, memiliki sudut pandang dan referensi yang berbeda-beda. Sebagaimana yang telah di jelaskan diatas, bahwa kelompok kedua melarang secara keseluruhan, yakni, baik sebelum solat berjamaah telah berkumpul atau bertemu terlebih dahulu ataupun tidak. Karena menurut pandangan mereka, berjabat tangan seusai solat berjamaah tidak ada tuntunanya dari Nabi Muhammad Sollallahu alaihi wasallam sehingga termasuk bid'ah dan semua bid'ah adalah tercela, sehingga, menurut mereka harus di hindari. Pandangan semacam ini di usung oleh kalanganWahabiyah, yaitu gerakan Islam yang di dirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787/1115-1201H) yang kontra dengan adanya pengklasifikasian jenis-jenis bid'ah.

             di kalangan Wahabiyah, semua bid'ah adalah sesat dan pelakunya akan masuk neraka. Pemahaman mereka yang semacam ini adalah, berdasarkan sabda Nabi Muhammad shollahu 'alaihi wasallam "كل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار" yang artinya, "..semua bid'ah adalah sesat dan semua kesesatan akan masuk  neraka". Sebagaimana yang di katakana oleh al-Utsaimin, salah satu dedengkot Wahabiyah, dalam tesisnya tentang bid'ah, "Hadits "semua bid'ah adalah sesat" bersifat global, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan di pagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat, yaitu kata-kata "kull (seluruh)". Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini, kita di benarkan membagi bid'ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya, ini tidak akan pernah benar." (Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, al-Ibda' fi kamal al-Syar'i wal khatar al-Ibtida';:13)."(Membongkar kebohongan buku "Mantan Kiai NU menggugat Shalawat dan Dzikir syirik":80-81).

           Masih dalam sumber yang sama, tesis Wahabiyah, al-Utsaimin khususnya, dianggap sangat lemah dan terkesan terlalu absurd dan  telah terjadi kontradiktif antara klaim al-Utsaimin itu sendiri. Di satu sisi Wahabiyah tidak membenarkan klasifikasi terhadap bid'ah menjadi beberapa bagian, sebagaimana perkataan al-Utsaimin diatas. Namun dikesempatan yang lain mereka justru membagi bid'ah kedalam dua katagori, yaitu, bid'ah dalam urusan dunia dan bid'ah dalam urusan Agama. Sebagaima  perkataan al-Utsaimin berikut ini; "Hukum asal perbuatan baru (bid'ah) dalam urusan-urusan dunia adalah halal. Jadi, bid'ah dalam urusan-urusan dunia itu halal, kecuali ada dalil menunjukan keharamanya. Tapi hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan agama adalah haram dan bid'ah, kecuali ada dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah yang menunjukan keberlakuanya." (al-Utsaimin Syarh al-'Aqiidah al-Wasithiyah:639-640)". (Ibid:81-82)

            Melihat tesis mereka yang kontradiktif, mengindikasikan adanya kerancauan dalam metodologi linguistic mereka. Sebuah paradigma dari satu titik yang saling menjatuhkan satu sama lainya, yang pada akhirnya mengindikasikan sangat lemahnya konklusi mereka, tentang tidak adanya klasifikasi bid'ah. Seharusnya, yang logis dan terbukti secara akademis, -jika mereka memang benar dan konsisten dengan pendapat mereka tentang tidak adanya klasifikasi bid'ah, karena bertendensi dengan hadits "semua bid'ah adalah sesat dan semua kesesatan akan masuk neraka",- mereka tidak akan menklasifikasikan bid'ah kedalam dua kategori, yaitu bid'ah dalam urusan dunia-yang menurut mereka halal- dan bid'ah dalam urusan agama. Pengklasifikasian bid'ah oleh mereka menjadi bid'ah dalam urusan dunia dan bid'ah dalam urusan agama, dengan sendirinya telah merobohkan tesis mereka yang pertama, yaitu, tidak  membenarkanya mereka terhadap pengklasifikasian bid'ah.

3. Nalar Logik Terhadap Kata "Kull"

            Menurut penulis, pola pikir meraka terlalu prematur untuk di kategorikan sebagai paradigma ilmiyah yang autentik. Hal tersebut dapat kita lihat dari perspektif mereka dalam menginterpretasikan hadits tentang bid'ah diatas. Pemahaman mereka terhadap kata "kull (seluruh)" dalam hadits diatas telah mengantarkan mereka pada suatu konklusi paradigma yang kontradiktif dan absurd. Sebuah paradigma, yang menurut penulis, terlalu simple. Seharusnya, analisa yang mendalam dan obyektif berkaitan dengan kata "kull" terlebih dahulu di kupas secara tajam. Apakah memang benar, bahwa kata "kull" itu hanya menunjukan makna "seluruh"?,  atau bahkan juga bisa menunjukan makna "ba'dh(sebagian)"?, baru kemudian "menarik benang merah" sebagai konklusi akhir dari kerja keras mereka.

           Analisa penulis, di topang berbagai sumber telah menemukan makna yang obyektif untuk kata"kull", bahwa tidak semua kata "kull"   -baik dalam bahasa Arab maupun Indonesia- akan menunjukan arti "seluruh", bahkan bisa juga menunjukan arti "sebagian". Penulis kutipkan contoh kongkret dari Al-Qur dan Al-Sunnah, semisal Allah telah berfirman dalam surah Al-Anbiyaa'   ayat ke 30: "وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُون " " yang artinya "Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (Al-Anbiyaa':30). Kita lihat, dalam ayat tersebut terdapat kata "kull" yang berdampingan dengan kata "Syai'" yang sekilas menunjukan arti "seluruh" sebagaimana yang tertera dalam terjemahnya "Segala sesuatau". Namun sebenarnya, bila di telisik lebih dalam, kata "kull" dalam ayat tersebut  menunjukan arti "sebagian" dengan bedasarkan fakta-fakta berikut:

     1. Allah telah berfirman:  "والجآن خلقناه مِن قَبْلُ مِن نَّارِ السموم" ,  yang artinya "Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas." (QS. Al-Hijr:27). Dalam surah Ar Rahman"وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِن "نَارٍ yang artinya "dan Dia menciptakan jin dari nyala api". Pada kedua ayat yang berbeda tersebut di jelaskan secara eksplisit, bahwa jin tercipta dari nyala api, bukan dari air. Dengan demikian, maksud dari firman Allah "Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup"adalah, sebagian sesuatu saja, karena jika yang di maksud adalah segala sesuatu-sebagaimana dalam terjemahyan- maka akan terjadi kontradiktif dengan kedua ayat penciptaan jin yang dari nyala api tersebut, bukan air. Berkenaan dengan penciptaan Adam AS dan 'Isa AS. Allah juga berfirman  
  "انَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آَدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ " ; yang artinya"Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi AllAh, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), maka jadilah dia."  (QS. Ali 'Imraan:59). Dalam hadis juga di sebutkan, bahwa Malaikat tercipta dari cahaya.

    2. Logika yang jeli juga mengatakan, bahwa kata "kull (seluruh/semua)" dalam bahasa Indonesia-sebagaimana dalam   bahasa Arab bisa menunjukan arti sebagian. Saya coba suguhkan contoh simpel yang seringkali kita alami, yaitu, suatu ketika Bapak Kepala Desa ingin mengajak warganya untuk kerja bakti, dia umumkan lewat sepiker, isi pengumuman tersebut adalah "Pengumuman, Kami beritahukan kepada   semua   warga desa agar    semuanya   mengikuti kerja bakti". Pada bodi teks pengumuman tersebut terdapat kalmat  "semua"  yang saya garis bawahi yang sebenarnya bermakna "sebagian", karena balita, anak kecil, orang tua renta, orang cacat, struk dll juga warga desa, dan  Bapak Kepala Desa tidak mungkin bermaksud menyuruh mereka ikut kerja bakti karena memang tidak mungkin. Dan masih banyak contoh-contoh kongret di sekitar kita yang serupa. Inilah logika berpikir yang di tawarkan  Ilmu Mantiq agar kita terlindungi dari kesalahan dalam berfikir. Sebuah tawaran manis agar kita tidak tekstual terhadap makna literal teks yang kadang menipu, bahkan di balik sana ada realitas yang harus di ikuti. Konon katanya, terlepas dari benar tidaknya berita, Ilmu Mantiq termasuk salah satu ilmu yang di haramkan oleh Wahabiyah.

 4. Klarifikasi  "Kull"  Dalam Hadits  "Semua Bid'ad Adalah Sesat"

Contoh lafal "kull"  dalam hadits yang bermakna "sebagian", sekiranya, bolehlah hadits tentang bid'ahdiatas, yang memakai redaksi "kull"  kita   jadikan sebagai contohnya. Senajan toh bunyi redaksinya adalah "Semua bid'ah adalah sesat" namun sebenarnya yang di kehendaki adalah sebagian bid'ah saja, bukan seluruhnya. Sebagaimana perkataan Al-Imam An-Nawawiy dalam  Syarh Shahih Muslim- nya"Sabda Nabi shallahu 'alaihi wasallam "Semua bid'ah adalah sesat" ini adalah kata-kata umum yang di batasi jangkauanya. Maksud "Semua bid'ah itu sesat" adalah sebagian besarnya, bukan selurunya."(Syarh Shahih Muslim,6/154)" (Ibid:84-85). Tentunya perkataan Al Imam An-Nawawiy ini lebih bisa di pertanggung jawabkan, karena di samping keintelektualitasanya yang tidak di ragugan lagi, juga pendapatnya tersebut yang obyektif dan sejalan dengan metodologi bernalar yang benar.

            Seperti halnya lafal "kull" yang terdapat pada ayat diatas yang bermakna "sebagian" dengan cara mengkompromikan dengan ayat-ayat yang lain agar tidak  kontradiktif, begitu juga hadits tentang bid'ah "Setiap bid'ah adalah sesat", agar tidak  terjadi kontradiktif dengan hadits lainya,-semisal dengan hadits shalat Tarawih- maka perlu adanya pengkompromian antara hadits tentang bid'ahdiatas dengan hadits shalat tarawih ini. Di riwayatkan oleh al-Bukhari, bahwa, "Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata "Suatu malam di bulan ramadhan aku pergi ke masjid bersama Umar bin al-Khatab. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang solat sendirian ada juga yang solat menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar RA. Berkata "Aku berpendapat, andaikan aku kumpulkan mereka dalam satu imam, tentu akan lebih baik". Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka'ab. Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin al-Khatab, dan mereka melaksanakan solat dengan bermakmum kepada seorang imam. Maenyaksikan hal itu Umar berkata  "Sebaik-baik bid'ah adalah ini…" ; (HR. Al-Bukhari).

Perkataan Umar RA.  "Sebaik-baik bid'ah adalah ini…"  dalam hadits diatas, secara eksplisit menunjukan, bahwa diantara bid'ah-bid'ah ada bid'ah yang baik. Sehingga, agar tidak saling berlawanan, maka di kompromikanlah kedua hadits tersebut, dengan cara menginterpretasikan hadist"Setiap bid'ah adalah sesat" dengan "Sebagian bid'ah itu sesat"; berdasarkan dalil-dalil yang dapat di pertanggung jawabkan, sebagaimana yang telah di paparkan diatas. Sayyidina Umar RA. Adalah termasuk salah satu Khulafa'ur Rasyidin yang selalau mendapatkan petunjuk, yang kita telah di perintahkan oleh Nabi shallalluhu 'alaihi wasalam agar mengikutinya. Dan juga, tentunya beliu lebih memahami perkataan Nabi "Semua bid'ah adalah sesat" dari pada kita ataupun orang Wahabiyah. Karena itu, "ngotot" dengan pendapatnya -bahwa semua bid'ah adalah sesat, berdasarkan hadits diatas- secara tidak langsung telah menuduh Sahabat Umar bodoh dengan hadits nabi "Semua bid'ah adalah sesat" , tersebut.

5. Sekelumit Kesimpulan Sementara

Terlepas dari semua penjelasan diatas, barangkali perlu penulis jelaskan, mengapa disini penulis justeru lebih menekankan pada  esensi bid'ah, bukan hukum mushaafahah setelah solat itu sendiri, ini karena menurut hemat penulis, bahwa perbedaan pendapat yang mencolok dan ekstrem justeru terjadi diantara kelompok yang pro dengan pengklasifikasian bid'ah dan kelompok yang menganggap tidak di benarkanya pengklasifikasian bid'ah tersebut. Atau menurut penulis lain, perbedaan pendapat antara Ahli Sunnah wal Jama'ah dengan Wahabiyah. Dan tidak di ragukan, bahwa perbedaan yang begitu ektrem itu berpangkal pada problematika bid'ah itu sendiri. Orang yang berasumsi, bahwa semua bid'ah itu tersesat, maka tidak akan pernah membenarkan rutinitas bersalaman setelah solat. Berbeda lagi dengan Ulamaa' yang mayoritas membagi bid'ah ke dalam dua bagian, yaitu bid'ah yang terpuji dan bid'ah yang tercela. Mereka tidak melarangnya, namun hanya memberi label bid'ah mubaahah (yang boleh di kerjakan) karena tidak ada larangan secara langsung. Dan ada pula yang memilahnya, dan ini pendapat yang di pilih oleh para Ulamaa' sebagaimana terdapat dalam KitabMajmu' diatas.

          Berdasarkan semua uraian diatas dapat sedikit di tarik "benang merah" sebagai konklusif sementara dari sebuah penalaran yang tentunya masih banyak kekurangan disana-sini, mengingat penulis tidak sepenuhnya menguasai dan ahli dalam dunia tulis menulis. Sehingga kesimpulanya-pun bersifat sementara dan perlu ada evaluasi lebih lanjud dari "kawan-kawan"  semua, yang notabene telah mahir dalam dunia tulis menulis dan lebih berkompeten di bidangya. Kesimpulan dari semua pembahasan diatas dapat di simpulkan sebagai berikut:

 1. Berjabat tangan ketika bertemu, para Ulamaa' diatas sepakat di sunnahkan berdasarkan hadits yang di riwayatkan dari Sahabat Barraa' diatas, yaitu   

وعن البرّاء رضي الله عنه قال:قال رسول الله صلى عليه وسلم:ما من مسلمين يلتقيان فَيَتَصَافَحَانِ الاّ غفر لهماقبل ان يفترقا
(رواه أبو داود)   

"Dari Sahabat Bara' R.A.Ia berkata "Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam bersabda,"tiada dua orang muslim  yang bertemu kemudian berjabat tangan melainkan dosanya di ampuni sebelum mereka berpisah".(HR.Abu Dawud)"

2. Berajabat tangan setelah melaksanakan solat. Terjadi dua perbedaan pendapat.
 yang  pertama:  antara kelompok pertama dan kedua yang telah di sebutkan dalam pembahasan diatas. Kelompok pertama, yang di ikuti oleh mayoritas Ulamaa' Ahli Sunnah wal Jama'ah memberikan pemilahan. Kelompok kedua yang di usung oleh mayoritas Ulamaa' Wahabiyah, secara mutlak melarangya karena dianggap bid'ah.

 Yang   kedua : terjadi perbedaan di kalangan intern kelompok pertama. Diantara mereka ada yang mengatakan mubah (boleh di kerjakan), namun pendapat yang mukhtar (yang di pilih) meberikan pemilahan, sebagaimana tertera dalam Kitab Majmu', yaitu "apabila antara orang yang berjabat tangan seusai salat sebelumnya sudah ada pertemuan terlebih dahulu (atau berkumpul) maka berjabat tangan setelah salat berjamaah di hukumi bid'ah mubaahah (bid'ah yang boleh di kerjakan) sebagaimana yang telah di jelaskan. dan apabila sebelunya belum ada pertemuan maka hukumnya Sunnah untuk di lakukan". (Majmu' Syarhul  Muhadzdzab 3:470). Wallau 'alam bishshawaab